Minggu, 26 Desember 2010

MENGENALI BID’AH

Mirip Syari’at Tetapi Sesat
Pengertian bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru atau membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam tinjauan bahasa memang mobil itu bid’ah, microphone itu bid’ah, computer itu bid’ah, hanphone juga bid’ah. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud oleh Nabi. Bid’ah yang dimaksud Nabi adalah bid’ah dalam tinjauan syar’i.
Adapun bid’ah dalam tinjaun syar’i, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-I’tisham Bid’ah adalah suatu cara beragama yang mirip dengan syari’at yang dengan melakukannya seseorang bermaksud melakukan ibadah kepada  Allah.

Bid’ah Adalah Musibah
Berkembangnya bid’ah-bid’ah adalah musibah. Bahkan tak ada yang lebih menyesakkan dada para ulama melebihi kesedihan mereka ketika melihat munculnya bid’ah. Ibnul Mubarak berkata: “kita mengadu kepada Allah akan perkara besar yang menimpa umat ini, yakni wafatnya para ulama’ dan orang-orang yang berpegang kepada sunnah, serta bermunculannya bid’ah-bid’ah.”
Abu Idris Al-Khaulani berkata: “Sungguh melihat api yang tak biasa kupadamkan lebih baik bagiku daripada melihat bid’ah yang tak mampu aku padamkan.”
Bid’ah menjadikan pelakunya semakin jauh kepada Allah. Hasan Al-Bashri mengungkapkan, “Bagi para pelaku bid’ah, bertambahnya kesungguhan ibadah (yang dilandasi bid’ah), hanya akan menambah jauhnya kepada Allah.”
Mengenai pentingnya kewaspadaan terhadap bid’ah ini, mendekati wafatnya Nabi memberikan beberapa wasiat, diantaranya,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)

Antara Bid’ah dan Ikhtilaf Ulama’ (Perbedaan Pendapat Ulama)
Bid’ah tidaklah sama dengan ikhtilaf para ulama. Bid’ah harus diingkari dan dicegah, sedangkan ikhtilaf yang merupakan hasil ijtihad di kalangan ulama tidak boleh dicegah atau diingkari sebagaimana mengingkari maksiat. Qunut subuh misalnya, tidak selayaknya kita mengingkari orang yang melakukannya seperti kita mengingkari kemungkaran atau bid’ah. Karena nyatanya hal itu diperselisihkan ulama tentang kesunnahannya. Begitupun juga dengan ikhtilaf dalam hal tahiyat, menggerakkan jari atau tidak. Juga ketika berdiri dari rukuk, bersedekap atau tidak.
Hal ini berbeda dengan perkara bid’ah yang nyata diada-adakan. Seperti berkumpul pada hari ke-7, ke-40 atau ke-100 hari orang yang meninggal dunia. Karena tidak ada dalil ke-sunnahannya, tidak ada pula ulama terdahulu yang menganjurkannya. Bahkan para sahabat menganggapnya sebagai nihayah (meratapi mayit). Jarir bin Abdillah al-Bajali berkata,
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) menganggap bahwa kumpul-kumpul di tempat keluarga mayit dan membuat makanan (jamuan) setelah dikuburkannya mayit termasuk nahiyah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah no. 1601, disahihkan oleh Al-Albani dalam Talkhish Ahkam Al-Jana’iz, hal. 73)

Menyoal Bid’ah Hasanah
Sebagian orang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sai’ah (bid’ah buruk dan bid’ah baik). Padahal Nabi tidak pernah memperkenalkan kepada umatnya tentan pembagian bid’ah ini. Dengan tegas Rasulullah bersabda
وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“…..karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak.
Adanya bid’ah hasanah sering dialamatkan kepada sahabat Umar bin Khothab yang mengatakan tentang shalat tarawih, “Ni’matul bid’ah hadzihi,” sebaik-baik bid’ah adalah ini. Hal ini dapat terbantahkan dari berbagai sisi.

Pertama: kalaupun maksud perkataan Umar adalah yang seperti mereka maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontir hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Abdullah bin Abbas pernah berkata, “Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian dari langit, aku katakana ‘Rasulullah bersabda’, kalian menyanggahnya dengan ‘Abu Bakar berkata’.”

Kedua: yang dimaksud Umar adalah bid’ah dengan pengertian bahasa, bukan bid’ah secara syar’i.

Ketiga: shalat tarawih berjama’ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid’ah secara syar’i. karena amalan itu ada contohnya dari Nabi.

Beda Bid’ah Dengan Al-Maslahah Al-Mursalah
Pembolehan bid’ah sering dialamatkan kepada para sahabat maupun tabi’in, lalu itu dijadikan alasan untuk membuat syariat-syariat baru. Yang paling sering dijadikan alasan mereka adalah sejarah Jam’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an), yang termasuk bentuk dari al-maslahah al-mursalah.
Al-Maslahah al-Mursalah diberlakukan untuk menjaga perkara yang bersifat dharuri dan bertujuan untuk raf’ul haraj (menghilangkan keberatan) dalam menjalankan ketentuan syari’at. Hal ini berbeda dengan bid’ah yang diada-adakan meskipun dianggap sebagai maslahah mursalah oleh orang yang tidak memahami perbedaan diantara keduanya.

MENGENAL KHURAFAT
Orang Arab, dahulu mempercayai bahwa perilaku burung merupakan isyarat akan nasib seseorang. Jika mereka hendak pergi, mereka menerbangkan burung. Jika burung terbang ke arah kanan, itu bertanda baik, mereka pun berangkat. Tapi jika terbangnya ke arah kiri, maka mereka mengurungkan kepergiannya karena itu dianggap bertanda buruk. Inilah yang disebut dengan thiyarah yang dihukumi syirik oleh Nabi
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عنْ حَاجَته فَقَدْ أَشْرَكَ
”Barangsiapa yang mengurungkan keperluannya takut kesialan, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan.” (HR. Ahmad)
Adapun orang sekarang, menganggap bahwa kejatuhan cicak dianggap firasat buruk, begitupun bila seseorang bertemu dengan ular  yang melintas di jalan. Khurafat juga terjadi dalam hal yang dianggap bagian dari keyakinan islam. Seperti kesaktian Qulhu sungsang, khadam asma’ul husna, mujarabat, rajah arab yang dianggap mampu menjaga rumah dll.

Firasat Memang Ada
Kalangan ulama tidak mengingkari adanya firasat yang dimiliki oleh orang mukmin, apalagi ada hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi yang berbunyi,
اتَّقُوا فِراسَةَ المؤمن ، فإِنه يَنظُرُ بنورِ اللّه
“hati-hatilah dengan firasatnya orang mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah.” (HR. Tiimidzi, hadits gharib)
Hanya saja, hakekat dan bagaimana terjadinya firasat sangatlah berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang-orang yang mempercayai hubungan ‘kedutan’ dengan peristiwa yang sedang dan akan terjadi. Para ulama tidak menyebutkan bahwa firasat itu hadir dengan sinyal dari gerakan tubuh tertentu, arah angin tertentu atau suara burung tertentu. Bahkan mengkaitkan ‘kedutan’ dengan peristiwa tertentu lebih layak dikatakan sebagai ‘tathayur’ yang merupakan suatu kesyirikan .

BID’AH DAN KHURAFAT DI INDONESIA
Diantara bid’ah dan khurafat yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:

Kualat Karena Melanggar Adat
Sebagian orang menganggap bahwa upacara adat lah yang bisa menjaga keamanan dan kesejahteraan mereka. Meninggalkannya berarti, siap menuai petaka. Jika ditanya mengapa adat atau ritual itu diberlakukan, biasanya jawabannya setandar. Kadang dalam rangka tasyakuran atau tolak balak. Tapi kenapa cara seperti itu yang dipilih bukan cara yang ditunjukkan oleh islam? Jawabannya hampir bisa dipastikan, “adatnya sejak dulu ya seperti ini!” persis dengan kaum musyrik tempo dulu. Allah berfirman,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (QS. Al-Baqarah 170)

Cegah Bencana Dengan Ritual Tolak Balak
Ritual yang dimaksud adalah sesaji untuk taqarrub kepada jin yang mereka anggap berkuasa di tempat itu. Seakan jin-jin itu mampu mengendalikan alam, mampu mendatangkan banjir, mampu menjadikan gempa bumi dan tanah longsor. Ini adalah keyakinan syirik paling berat yang bahkan tidak dilakukan oleh orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik dahulu menyekutukan Allah dalam beribadah, tapi mereka tetap meyakini, bahwa yang mengendalikan semua urusan adalah Allah. Firman Allah Qs. Yunus 31

Hilangkan Mimpi Buruk Dengan Membalik Bantal
Mereka meyakini dengan membalik bantalnya, maka arah mimpi menjadi berubah atau ‘epesode’nya berganti. Ada pula yang berkeyakinan, dengan membalik bantal, maka apa yang dialami dalam mimpi tidak menjelma di alam nyata. Bagaimana islam menjelaskan kejadian seperti ini, lalu bagaimana solusinya?
Nabi telah menjelaskan bahwa mimpi baik itu adalah dari Allah, sedang mimpi buruk itu dari setan. Rasulullah bersabda,
“Mimpi baik itu dari Allah, sedang mimpi buruk itu dari setan. Jika salah satu di antara kalian bermimpi yang tidak disukai, maka hendaknya menghembuskan (dengan sedikit ludah) kekiri tiga kali, lalu membaca ta’awudz kepada Allah dari keburukannya, niscaya mimpi buruk itu tidak akan memadharatkannya.” (HR. Muslim)

Menanam Kepala Kerbau
Mereka meyakini bahwa tradisi menanam kepala kerbau seolah suatu keharusan yang mengiringi momen-momen penting. Seperti peletakan batu pertama suatu bangunan, pembangunan jembatan, ritual sedekah bumi maupun tradisi larung untuk sedekah laut, kepala kerbau hampir menjadi inti dari sesaji. Dalam hal ini Rasulullah bersabda,
وَلَعَنَ الله مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ الله
“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) untuk selain Allah.” (HR. Muslim)

Sial Karena Terkena Hukum Karma
Dalam bahasa sansekerta, karma berarti perbuatan. Dalam arti umum, meliputi semua kehendak (baik dan buruk, lahir dan batin, pikiran, kata-kata atau tindakan). Karma dikenal juga dengan hukum sebab-akibat. Mereka yang percaya karma yakin bahwa di masa yang akan datang orang akan memperoleh konsekuensi dari apa yang telah diperbuat di masa lalu.
Sepintas ajaran ini mirip dengan Islam, yang mengenal istilah ‘al-jaza’ min jinsil amal’, bahwa hasil itu sepadan dengan usaha yang dilakukan. Padahal ada perbedaan menyolok antara karma dan kaidah islam tersebut. Karma adalah bagian dari kepercayaan Hindu-Budha. Karma tidak terpisahkan dengan ajaran reinkarnasi, yang menyatakan bahwa setelah seseorang meninggal akan kembali ke bumi dalam tubuh yang berbeda. Jadi, mereka meyakini hidup berulang kali di dunia, mesklipun dengan wujud yang berbeda. Tentang nasib, tergantung karma yang diperbuatnya dikehidupan sebelumnya.
Dalam Islam misibah yang menimpa, memang kadang bisa diartikan dengan balasan, tapi kadang pula berarti pembersih dosa dan terkadang berarti ujian. Orang yang terlanjur berbuat dosapun tidak menutup kemungkinan untuk bertaubat, sehingga efek dosa bisa tercegah, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam

Musibah Karena Mendahului Kakanya Menikah
Mereka meyakini bahwa hal ini akan menjadikan kakaknya tidak laku, dan sang adik juga akan menerima akibatnya karena lancang melangkahi kakaknya menikah. Sebagian yang merasa terpaksa ‘melanggar’ adat itu mengharuskan sang adik untuk mengadakan ritual plangkahan. Adapun islam mengajarkan untuk menyegerakan jika dirasa sudah mampu. Tidak menjadi soal apakah ketika menikah kakaknya telah menikah atau belum.

Selamatan  Tujuh Bulan Dalam Kandungan
Orang jawa menyebutnya dengan mitoni. Menurut para pelakunya, ritual ini merupakan bentuk syukur kepada sang Pencipta yang telah menyelamatkan ibu dan calon bayi hingga berumur tujuh bulan. Harinya pun dipilih hari ‘baik’ bukan sembarang hari. Bentuk ritualnya bermacam-macam, dari ritual siraman, calon ibu berganti pakaian dengan 7 motif, lalu para tamu diminta untuk memilih motif mana yang paling cocok.
Tujuan untuk bersyukur tidaklah menjadikan ritual itu layak diikuti. Karena tujuan yang benar harus ditempuh dengan cara yang benar pula. Lalu bagaimana cara mensyukuri yang benar? Tak ada ritual khusus, waktu khusus atau tempat khusus. Hendaknya memperbanyak tahmid dalam segala kondisi, dan jika suatu kali mendapatkan suatu perkara yang tidak disukai hendaknya membaca Alhamdulillah ‘ala kulli haal, segala puji bagi Allah dalam segala keadaan.

Kokok Ayam Ditengah Malam, Isyarat Wanita Hamil Di Luar Nikah
Kepercayaan seperti ini biasanya terjadi karena hasil utak-atik orang terhadap perkara yang dianggap ganjil. Misalnya secara kebetulan ada kejadian yang berbarengan. Keyakinan seperti ini tidaklah dibenarkan karena tidak berlandaskan dalil.

Sesaji Untuk Bersyukur
Diantaranya adalah sesaji sebagian para nelayan untuk “Dewi Roro Kidul”, penguasa pantai selatan dan juga sesajinya para petani untuk “Dewi Sri”, yang diyakini telah menguningkan padi mereka. Sesajian ini adalah termasuk dari kesyirikan.

Nyadran Dan Padusan Di Penghujung Sya’ban
Sebagian warga di Magelang misalnya, mereka melakukan ritual sadranan di puncak Gunung Tidar. Konon di sana terdapat petilasan Syekh Subakir.
Selain nyadran ada juga ritual yang di sebut dengan “padusan” / mandi sebelum memasuki bulan ramadhan. Padahal ritual ini tidak pernah diajarkan Islam.

Sial Karena Kejatuhan Cicak
Mereka meyakini, ketika kejatuhan cicak, maka bertanda mereka akan mendapatkan musibah. Sebagai penangkal mereka segera memburu cicak tersebut dan menyobek mulutnya, supaya musibah tidak jadi menimpanya. Hal ini disebut juga dengan tathayur yang dilarang dalam Islam.
Nabi bersabda barang siapa mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah berbuat kesyirikan,” lalu para sahabat bertanya. “lalu apa tebusannya wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “hendaknya engkau membaca,
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tiada nasib baik kecuali nasib baik (dari)Mu, tiada thiyarah kecuali thiyarah-Mu dan tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Ahmad)

Bintang Beralih Tanda Kematian
Keyakinan seperti ini telah ada sejak zaman jahiliyah terdahulu. Ketika Nabi bersama para sahabatnya sedang duduk-duduk, tiba-tiba terlihata di langit ada bintang beralih, maka beliau bersabda, “Apa yang kalian katakana di masa jahiliyah dahulu ketika melihat yang demikian?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, dahulu kami mengatakan bahwa pada pada malam itu telah lahir seorang pria agung dan telah wafat laki-laki yang agung pula.”
Sebagai koreksi dari keyakinan jahiliyah tersebut, Nabi bersabda, “Bintang itu dilempar bukan karena seseorang yang mati ataupun lahir, akan tetapi Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala ketika memutuskan perkara maka bertasbihlah para malaikat penyangga Arsy, kemudian bertasbihlah para penduduk langit di bawah mereka, hingga suara tasbih tersebut sampai penduduk langit dunia ini. Kemudian para malaikat yang berada di bawah penyangga Arsy bertanya kepada para penyangga Arsy, “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Lalu merekapun mengabarkan tentang apa yang telah Dia firmankan. Maka sebagian penduduk langit mengabarkan kepada sebagian yang lain sehingga kabar tersebut sampai ke langit dunia, ketika itu jin mencuri dengar tentangnya untuk dibisikkan kepada walinya (dukun), lalu dia dilempar dengan bintang tersebut. Maka jika mereka (berhasil mendengar) kemudian mengabarkan sesuai yang didengar maka beritanya benar, akan tetapi mereka suka membuat-buat dan menambahnya.” (HR.Muslim)

Tukar Cincin Pernikahan
Upacara tukar cincin menjadi tradisi wajib bagi banyak kalangan, termasuk kaum muslimin. cinci pernikahan pun sebagai barang bertuah yang memiliki arti sakral. Berbagai mitos tentang cincin inipun berkambang di masyarakat. Konon, cincin pernikahan itu bisa menjadi sebab kelanggengan bahtera rumah tangga. Bila ini yang diyakini maka mereka telah terjebak kepada ksyirikan karena menganggap cincin bisa mendatangkan manfaat ataupun madharat.
Tukar cincin meskipun telah berkembang di kalangan kaum muslimin, bukanlah berasal dari aturan islam atau teladan Nabi. Bahkan merupakan ritual yang memiliki nilai religius dikalangan umat Nasrani. Maka melakukannya berarti menyerupai mereka, padahal Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

Sakit-Sakitan Karena Tak Kuat Menyandang Nama
Sebagian orang Jawa meyakini, tidak semua nama baik itu cocok untuk disematkan setiap anak. Ketika mereka melihat anaknya sakit-sakitan berkepanjangan, segera mungkin mereka mengubah nama anaknya. Karena mereka meyakini tidak adanya kecocokan nama anaknya dengan aura pemiliknya.
Di dalam Islam, tidak  dipungkiri bahwa nama memiliki pengaruh bagi pemiliknya. Seringkali ada kesesuaian antara nama dan yang diberi nama. Tetapi pengaruh tersebut lebih kepada makna yang dikandung didalmnya. Islam melarang nama-nama yang berkonotasi buruk.

Tabur Bunga Di Atas Pusara
Sebagian orang islam melakukan hal ini dengan berkeyakinan supaya penghuni kubur diringankan siksaanya. Beralasan dengan perbuatan Rasulullah ketika melewati dua kuburan yang sedang disiksa, kemudian beliau megambi pelapah kurma dan membelahnya menjadi dua bagian dan menancapkan kepada masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan itu?” beliau bersabda, “Agar keduanya diringankan siksanya selagi pelapah kurma itu masih basah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika dengan landasan hadits itu seseorang menaburkan bunga di atas kuburan, berarti dia telah berprasangka buruk kepada mayat. Seakan dia memvonis bahwa si penghuni kubur tengah menghadapi siksa. Sedangkan Nabi melakukan hal demikian atas dasar pengetahuan beliau bahwa kedua penghuni kubur telah disiksa.

Reinkarnasi
Reinkarnasi adalah keyakinan tentang regulasi ruh, yakni ruh orang yang telah mati akan menitis kepada makhluk lain. Bisa berwujud manusia, bisa pula hewan maupun batu. Ajaran ini dikenal dalam agama Hindu. Dalam agama Budha dikenal dengan istilah tumimbal lahir (rebirth). Dalam dunia kejawen juga banyak beredar dongeng tentang reinkarnasi dengan sebutan ‘titisan’. Tentu karena masih mewarisi budaya Hindu.

Kembali Suci Setelah Idul Suci
Definisi ‘kembali suci’ hanya masyhur di kalangan masyarakat Indonesia. Kitab-kitab para ulama’ tak ada yang menampilkan definisi idul fithri sebagai hari kembali suci. Kesalahan terjadi karena kata fithri dianggap sama dengan fithrah, padahal berbeda. Setidaknya hal ini dapat dilihat dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir halaman 1142, disebutkan bahwa makna al-fithru adalah berbuka sedangkan al-fithrah adalah bermakna sifat pembawaan (yang ada sejak lahir), fithrah. Berarti makna makna idul fithri adalah kembali berbuka setelah satu bulan shaum, dan bukan kembali suci. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah,
أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَعِيدٌ لِلْمُسْلِمِينَ
“Adapun hari fithri adalah fithr (berbuka)mu dari shaum dan ied bagi kaum muslimin.” (HR. Tirmidzi)

Jin Bertengger Di Gambar Bernyawa
Tentang jin yang bertengger di gambar bernyawa, sejauh penulis (Abu Umar Abdillah) ketahui tidak ada dalil yang menyebutkannya. Konon, keterangan itu didapatkan dari pengakuan jin yang diinterogasi orang yang meruqya. Jika demikian, hal ini tidak boleh kita jadikan sebagai landasan keyakinan. Disamping kemungkinan (bahkan besar kemungkinan) jin berdusta, ini juga bersifat kasuistik. Karena keimanan terhadap yang ghaib tidak boleh didasarkan kecuali dari sumber wahyu, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perihal gambar bernyawa memang seharusnya kita bersihkan dari dinding rumah kita. Karena dalam riwayat Imam Bukhari, Rasulaullah bersabda, “Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar bernyawa.”

Negeri Seribu Hantu
Setan memahami betul tipologi manusia dengan berbagai macam corak adat dan budayanya. Mungkin, membanjir dengan seribu hantu atau jin yang suka nongol adalah cara yang tepat untuk menggiring manusia Indonesia menuju jurang kesyirikan, sesuai dengan tipologi masyarakat Indonesia yang lekat dengan keyakinan animism dan dinamisme.

Menghadirkan Arwah Ghaib
Klaim semacam ini sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di abad ke-7 Hijriyah telah banyak membuka kedok para penipu yang mengaku bisa menghadirkan arwah orang yang sudah mati.
Termasuk dalam hal ini adalah fenomena jaelangkung. Sebenarnya yang hadir disitu bukanlah arwah orang yang sudah mati. Karena mereka yang berada di alam barzah sudah mempunyai kesibukan tersendiri. Bersenang-senang dengan nikmat Allah atau menghadapi siksa Allah. QS. Az-Zumar 42

Hewan-Hewan Keramat
Sebut saja kerbau bule yang digelari Kyai Slamet di Solo, setiap malam satu Suro (Muharram) ribuan orang datang untuk menyaksikan kirab sakral sang ‘kyai’ yang mengitari alun-alun keraton. Ada lagi hewan bulus (kura-kura) di Klaten, dipercaya bisa mendatangkan kekayaan.
Mitos hewan keramat ini dikembangkan dengan mengisahkan kejadian-kejadian yang dikaitkan dengan perlakuan terhadap hewan tersebut.

Qulhu Sungsang Sebagai Mantera Kesaktian
Yaitu membalik susunan surat Al-Ikhlas dan dibalik cara membacanya. Para pemburu kesaktian banyak yang meyakini keampuhan qulhu sungsang. Ada yang menggunakannya sebagai mantera untuk pukulan jarak jauh, untuk pelet dan untuk mengusir jin. Ini semua hanya bualan semata dan tidak dibenarkan, karena telah memainkan ayat Allah yaitu dengan membolak-baliknya.

Khadam Asma’ul Husna
Ada yang menyebarkan khurafat, bahwa setiap Asma’ul Husna mempunyai khadam malaikat yang siap melaksanakan maksud dari arti Asma yang dibaca. Keyakinan ini tidak bersumber melainkan rekayasa belaka.

40 Hari Menjadi Orang Sakti
Masa 40 hari terkesan memiliki makna khusus bagi orang-orang tertentu. Setidaknya bagi orang yang ingin menjadi orang super, dengan bersemedi selama 40 hari. Alasan ini tidaklah sesuai dengan syari’at.

Mendadak Sakti Dengan Ilmu Laduni
Kata “laduni” diambil dari firman Allah QS. Al-Kahfi 65. Ilmu laduni di anggap sebagai ilmu pemberian Allah kepada seseorang tanpa melalui proses belajar.

Debus Dianggap Karamah
Seperti atraksi makan api, mengiris lidah dengan pisau dan atraksi-atraksi semisalnya. Mereka menganggap hal-hal ini sebagai karamah. Keyakinan seperti ini tidaklah dibenarkan, karena karamah diberikan kepada Allah kapan Dia menghendaki, seringkali tidak direncanakan  oleh orang yang diberi, maka tidak bisa diatraksikan.

Primbon, Fengshui Dan Mujarabat
Orang Jawa mengenal primbon, orang Cina mengenal Fengshui dan orang Arab mengenal Mujarabat. Ketiga “kitab (tak) suci” tersebut hingga kini masih diyakini keampuhannya oleh para penganutnya. 

Rajah Penjaga Rumah
Rajah itu berupa kertas bertuliskan huruf-huruf yang sulit dibaca dan dipahami maknanya, kertas itu dilipat atau terkadang dibungkus dengan kain lalu dipaku di atas pintu. Benda itu diyakini dapat menolak marabahaya yang bakal masuk ke dalam rumah. Dan rajah ini termasuk syirik.

Mitos Biji Tasbih
Biji tasbih yang dimiliki kiyai diyakini bisa menyembuhkan penyakit dan mencegah terjadinya marabahaya. Bahkan seperti granat, kalau biji tasbih itu dilempar akan meletus. Lalu mereka menganggap bahwa mengalungkan tasbih di leher sangat cocok sebagai alat taqarrub kepada Allah. Ini juga penafsiran hasil otak-atik orang-orang sufi, tak ada dasarnya dari Nabi sedikitpun.

Meramal Nasib, Dengan ‘Weton’ Dan Zodiac
Ini semua adalah bentuk dari kesyirikan.

Misteri Angka 13
Angka tiga belas dianggap sebagai momok karena diyakini sebagai sumber kesialan. Mungkin hanya satu kasus, yang mana istilah angka ke-13 tidak menjadi momok, yakni gaji ke-13.

Ajaran Baru Nabi Melalui Mimpi
Hal ini jelas bathil, karena tidak mungkin Nabi menurunkan syariat baru. Allah berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah 3)

Oleh: Imanudien

Tidak ada komentar: